
Foto calon ketua osis MAN 1 Jombang tahun 2014
Much Rifqi Nabillah, Ibu Hanum Habibah, Avi Miftahul Listya, Dwi Febrian Putra P
Denny Prasetio, Devi Era Rahmawati, Lutfi Yulianto.
ini hanya diari kecil yang aku tulis di malam hari. Di tengah malam yang sunyi. Saat semua penghuni Rumah Muda terlelap dalam mimpi.
______________________________________________________________
Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tuntutlah ilmu walaupun ke negeri China!”
Walaupun katanya hadis di atas bersifat dhaif , tapi aku tetap memakainya sebagai pegangan menuju keberhasilan. Toh, dhaif atau sahihnya hadis, yang menilai manusia juga. Tetapi pengalaman dan pengetahuan mereka jauh lebih tinggi di atas kita.
Hadis dhaif boleh saja kita ikuti, asalkan tidak merugikan. Dalam islam pun sepertinya juga begitu. Tidak boleh kita buang begitu saja. Kalau tidak, lalu mengapa ada kitab yang khusus untuk mengumpulkan hadis-hadis dhaif tersebut?
Kesahihan suatu hadis adalah penilaian para 'Ulama, bukan Allah. Boleh kita ikuti, boleh tidak. Tapi lebih baik memang mengikuti. Karena hasil pemikiran mereka merupakan salah satu dasar agama yang harus dijadikan sumber hukum, setelah Al-quran dan hadis. Kesepakatan itulah yang kita kenal dengan istilah Ijma.
Wallahu 'alam...
Karena prinsip hadis itulah, aku akhirnya mempunyai pemikiran:
Dimanapun sekolahnya, kalau bisa membuat pintar, akan aku hadapi jarak itu.
Ini juga penyebab aku mau bersekolah di tempat yang jauh dari rumah.
MAN 1 Jombang, di sanalah aku kemudian menuntut ilmu selepas SMP. Sebenarnya masih satu kota juga. Hanya saja, jika kalian tahu rumah, dan apa yang aku pakai untuk ke sekolah, pasti akan mengatakan betapa jauhnya sekolahan itu.
Sepeda ontel. Dengan itulah aku menghabiskan satu jam perjalanan yang berjarak 15 km untuk berangkat sekolah. Asal kalian tahu, dengan itu juga aku membonceng seorang wanita cantik di SMP. Padahal banyak yang menawarinya untuk naik motor. Tapi, dia lebih memilih mengukir kisah romantisnya bersama diriku. #eaaaaa
Awal masuk MA, prestasiku cukup baik. Mendapat peringkat 1 di kelas. Sejak SD, aku memang tak pernah absen dari daftar 5 siswa terbaik di kelas.
Selain itu, aku sering menjadi perwakilan sekolah untuk mengikuti kegiatan perlombaan. Beberapa diantaranya mendapat hasil yang cukup memuaskan, seperti; juara lomba azan, juara lomba tartil quran, juara olimpiade matematika, juara olimpiade quran hadis, juara cerdas cermat PMR madya, dsb.
Aku kemudian memilih untuk belajar berorganisasi ketika SMA dengan cara menjadi bagian dari pengurus Osis. Tanpa disangka, saat kelas 2 dipercaya untuk memimpin Osis di sekolah.
Sebenarnya, waktu SMP pun aku juga menjabat itu. Hanya saja, menjadi Ketua Osis SMP tidak terlalu berat. Semua masih dalam kendali guru.
Prestasiku langsung turun!
Semua menyalahkan jabatan itu sebagai penyebabnya.
Harus kuakui, saat kelas 2 SMA, aku tidak masuk dalam 10 besar siswa terbaik. Dan perlu kalian tahu, saat kuintip di daftar prestasi semester, ternyata aku peringkat 28. Sungguh memalukan!
Kalian pasti tahu betapa galaunya aku saat itu. Membayangkan apa yang akan bapak lakukan. Padahal, dulu ketika tahu aku mendapat peringkat 4, dia marah besar! Apalagi 28?
"Tinggalkan Osis, prestasimu jauh lebih penting!" Begitu yang semua orang katakan.
Semua nasihat, hujatan, kemarahan, aku dengarkan dengan baik. Tapi tentu saja, aku tidak akan meninggalkan Osis hanya karena prestasiku menurun. Itu sangat tidak bertanggung jawab.
Pada semester kedua masa jabatan, aku mencoba untuk kembali lagi fokus di kelas. Mendengarkan semua materi pelajaran dengan baik. Tapi sama saja, justru, kegiatan Osis jauh lebih padat. Seakan-akan, ruang kelas hanyalah tempat istirahat.
Dampak terburuk aku rasakan pada saat ujian akhir semester dua. Saat itu bersamaan dengan kegiatan persiapan hari ulang tahun sekolah yang memakan waktu berbulan-bulan. Aku kebingungan mengerjakan semua soal. Alhasil, nilaiku tak ada yang melebihi KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) nilai. Tentu saja banyak ujian yang harus mengulang. Kalau tidak, maka aku tidak akan naik kelas.
Sebenarnya, tidak masalah jika nilaiku di rapor tertulis jelek. Karena bagiku, rapor sekolah bukan hanya tentang kepandaian di kelas, tapi juga kepandaian bersosialisasi dengan dunia luar kelas. Walaupun rapor tersebut tidak tampak nyata. Tapi aku membayangkan, betapa malunya kedua orangtuaku jika tahu nilaiku tersebut.
Alhamdulillah, aku naik ke kelas 12 (3 SMA)
Di kelas 3, aku tak lagi menjabat sebagai Ketua Osis. Semua waktu sekolah, aku khususkan untuk persiapan kelulusan. Kelas 3 saatnya fokus di kelas, mengejar semua ketertinggalan selama kelas 2. Akhirnya, aku mendapat peringkat lagi. Walaupun hanya kedelapan, tapi aku bangga dengan itu. Bisa mengembalikan kepercayaan semua warga sekolah kepadaku.
Berkat itu, aku kemudian ditunjuk lagi oleh sekolah untuk mewakili olimpiade matematika bersama teman-teman yang lain. Walaupun pada akhirnya, kami tidak berhasil memenangkannya. Itu cukup membanggakan bagiku.
Ketika sekolah, memang ada dua hal yang harus kita pilih. Pendidikan karakter atau akademik. Keduanya sangatlah penting. Dari cerita di atas, tentu kalian tahu mana yang aku pilih. Benar, pendidikan karakter.
Melalui Osis, aku memang belajar tentang pendidikan karakter. Dari sana aku belajar tentang rasa sabar, semangat, tanggung jawab, dan tentunya kerja sama dan sosialisai.
Tetapi, yang harus kalian tahu, tujuan dasar bersekolah adalah untuk meningkatkan kemampuan akademik. Jadi, sekolah seperti sia-sia apabila prestasi akademik jelek. Itu bukan kataku. Faktanya, semua orang akan berpikir demikian.
Mana yang lebih kalian gali di sekolah? kemampuan akademik, atau sosial?
Kalo aku pribadi sih pilih kemampuan sosial. Walaupun kemampuan sosialku nilainya masih min (-). Tapi kemampuan sosial itu berguna banget buat kita dewasa nanti. Tetangga kita nanti g mungkin nanya nilai raport kita, tapi mereka akan menilai bagaimana sikap sosial kita pada lingkungan.
ReplyDeleteItu opini ku
Terima kasih sudah memberi jawaban yang cukup memuaskan ya mbak :)
DeleteAku lebih memilih kemampuan sosial. Toh dalam keseharian gak semua ilmu akademik kita pakai. Masyarakat didesa pun (aku anak desa) lebih melihat seseorang dari sisi sosialnya..
ReplyDeleteTerima kasih sudah memberi jawaban yang cukup memuaskan ya mbak :)
DeleteSelagi bisa mengatur waktu dan dalam kondisi kesehatan yang selalu prima, saya melakukan keduanya. Karena jika hanya pro di kemampuan akademik tanpa ada skill sosial ibarat makan pecel tanpa peyek. Btw fotoku dulu unyu2 eh wkwk
ReplyDeleteTerima kasih sudah memberi jawaban yang cukup memuaskan ya bro :)
DeleteDisuruh milih ya? Saya akan lebih memilih kemampuan sosial, karena hal itu lebih penting dalam kehidupan sehari-hari ^_^
ReplyDeleteNamun, sebagai pelajar, kita juga dituntut untuk memiliki kemampuan akademik yang mumpuni sebagai penyeimbang, ingat banget dulu waktu sekolah nggak ada ikut organisasi apa-apa, nyesel banget, eh giliran masa kuliah ikut, disuruh berhenti T_T
Terima kasih sudah memberi jawaban yang cukup memuaskan ya mbak :)
DeleteNsib kita sama pi hahaha
ReplyDeleteaku drastis pas UN, masuk 10 besar pun yg ke-10 haha pas semesteran biasa juara umum. Tapi lombaku rata" ttg sastra. Lu keren lah 👍
ahahaha ikut2 aja ente ren :D
DeleteBtw, judulnya typo. Terlalu semangat sih.
ReplyDeleteXixixixi ini namanya semangat berlebihan mas suden :d
DeleteNggk ada yg sadar 😂 kalau saya lebih milih kemampuan sosial 😍
ReplyDeletetapi jangan sampai akademik kececeran ya mbak :)
DeleteLutfi keren
ReplyDeleteSukses terus lutfi
Aamiin, terima kasih mbak Wiwid atas doanya, kesuksesan selalu ada paada setiap orang :)
Deletekalau saya sih dua-duanya
ReplyDeletemasalahnya kalau kemampuan sosialnya (-), kemampuan akademiknya bakal (-) juga. Terutama pas kerja kelompok atau PKL buat smk. hehe
gitu ya, hehe :-) tapi belum pasti kalo kemampuan sosial (-), kemampuan akademik (-) jugaa
Delete