Sebenarnya ini adalah perjalanan lama. Sudah sempat aku tulis juga di blog, tapi sepertinya di blog lama yang aku pun sudah lupa alamatnya. Hem ... baiklah, lupakan tentang blog itu.
Pendakian ini aku lakukan pada awal tahun 2017. Sepertinya, ini adalah pendakianku yang keempat. Pendakian pertama, kedua, dan ketiga, aku lakukan ketika masih 'aliyah.
Bulan Januari 2017.
Waktu itu temen-temenku ngajak buat liburan naik gunung. Dalam hati sempat berpikir dua kali, masih kuat apa enggak? Mengingat di pendakian-pendakian sebelumnya, aku selalu menyesal tiap kali naik. Tapi tiap kali turun, pasti deh ... kangen, pengin naik lagi.
Akhirnya aku ketok palu dan memutuskan buat ikut mereka naik gunung. Gunung yang kami pilih waktu itu adalah Merbabu. Oh iya, kebetulan posisiku saat itu lagi ada di Semarang. Nah, teman-teman yang ngajak itu anak Jombang. Jadi deh, kami berangkatnya enggak bareng.
Kami ketemuan di Boyolali. Kebetulan jalur yang kami pilih adalah Selo (Boyolali). Semula, titik ketemunya di terminal. Tapi karena aku kesiangan, jadinya mereka menunggu di basecamp pendaftaran pendakian Selo.
Tarif angkutan menuju Selo berbeda-beda. Jika versi teman-temanku yang dari Jombang, yang pertama dinaiki adalah Bis ekonomi arah Solo seharga Rp34.000. Lalu, dilanjutkan naik bis arah Boyolali dengan tarif antara 10.000-20.000. Nah, setelah sampai di terminal, kita tinggal pilih mau naik apa buat sampai ke Selo. Waktu itu, teman-temanku dapat tarif Rp200.000/mobil. Sedangkan aku, karena sendirian dan belum pandai menawar harga, jadi dapat ojek dengan tarif Rp100.000.
Selo ini jalur yang paling ramai di Merbabu. Selain Selo, jalur lain yang bisa dipilih adalah via Suwanting (Magelang), Wekas (Magelang), Cunthel (Kab. Semarang), dan Thekelan (Kab. Semarang). Harga tiket naik Merbabu melalui Selo ini kalau enggak salah Rp15.000. Kami mulai perjalanan pukul 9 pagi.
Selo ini medannya cukup ramah. Enggak terlalu berat, tapi enggak ringan juga. Nah, kalau lewat Selo, kita bakal ketemu sama wisata namanya 'Gancil Hill Top'.
Gancik ini bisa jadi gerbang pembuka menuju Merbabu. Waktu itu sih, kami enggak bayar buat naik. Entah karena enggak ketahuan, atau memang gratis. Tapi yang jelas, kami puas berfoto-foto di bambu keren itu.
Setelah 2 jam setengah berjalan, akhirnya kami sampai di pos pertama pendakian. Oh iya, kalau kalian enggak tahu, pos ini biasanya dipakai buat istirahat lama. Entah buat makan, atau sekadar merebahkan tubuh.
Pos 1 ini berada di ketinggian 2050 MDPL. Ngomong-omong, Gunung Merbabu tingginya 3142 MDPL.
Dari pos 1, jalur selanjutnya ini makin menanjak. Yups ... petualangan makin terasa. Kami sempat lihat peta pendakian, ternyata jaraknya deket banget. Tapi ... ternyata versi peta dan versi sebenarnya beda jauh. Hem ... kami tertipu.
Ternyata ... kami menghabiskan waktu lebih dari tiga jam buat sampai ke pos dua. Sampai di pos dua ini, hujan mulai turun. Tapi, cuma rintik-rintik. Beberapa saat kemudian berhenti. Akhirnya kami lanjutkan kembali perjalanan.
Sekitar setengah jam kemudian, kami sampai di savana. Nah, sampai di savana ini, hujan gede mulai turun. Awalnya, kami ingin tetap melanjutkan perjalanan. Tapi, makin lama hujannya makin gede. Terpaksa deh, kami putuskan buat bangun tenda. Waktu itu kalau enggak salah jam 4 sore.
Tenda kami ada dua. Satu tenda berisi empat orang, yang satunya berisi dua orang. Tenda pertama diisi oleh aku, Faisal, Taufan, dan Didit. Tenda kedua diisi oleh Thoriq dan Faroq. Kami salat di tenda yang berisi 4 orang.
Makin lama, hujan makin lebat dan enggak berhenti-berhenti. Angin kencang mulai datang. Tak lama, Faroq dan Thoriq datang ke tenda kami. Ternyata ... tenda mereka terbang. Kebayang nggak, gimana gedenya badai waktu itu. Kami enggak sempat ambil gambar karena saking takutnya handphone tersambar petir.
Tenda kapasitas empat orang diisi oleh enam orang. Jadilah, semalaman kami enggak bisa tidur karena tempat yang sempit dan badai yang makin besar.
Sampai tengah malam, badai enggak berhenti-berhenti. Jujur, waktu itu aku nangis dan sempat putus asa. Bahkan, kami pasrah apabila waktu itu adalah hari terakhir kami hidup. Ini serius loh.
Beruntung, Allah maha baik. Sekitar jam 4 pagi, badai berhenti. Kebayang dong, gimana rasanya 12 jam dihantam badai. Walau badai telah reda, tapi kami enggak berani keluar.
Pukul 8 pagi, kami baru keluar tenda walau suhu masih dingin banget. Jarak pandang sangat terbatas karena tertutup kabut.
Kami kemudian memutuskan untuk turun. Padahal, puncak Merbabu udah deket banget. Tapi mau gimana lagi. Daripada ketemu badai lagi, lebih baik kami turun saja. Karena bagi kami, yang penting bukan puncak, tapi kebersamaannya.
Badai merbabu mengajarkan kami bagaimana kebersamaan yang sebenarnya. Semoga, suatu hari nanti, kami diberi kesempatan lagi buat sampai ke puncak Merbabu.
Mas aku pinjemin jet mau? hehe
ReplyDeleteSemoga dapet tiket mas ššš
ReplyDeletekenapa gak balik dulu ke asrama rumah muda sayang....
ReplyDeletepesan tiketnya jangan dadakan dong say....
Cie paling muda..
ReplyDeleteSemangaaaat Lutfi..
Salam untuk maston
Saya doain aja yaa, semoga segera dapat tiket bis, hehehe aamiin, yg plg muda kudu plg semangat hihi
ReplyDeleteBalik kampung
ReplyDeletePulkam
ReplyDeleteceritakan perjalanan berikutnya sampai dapat tiket bis dan pulang, Yan
ReplyDelete